Arifin Teruzsemangat
"Bolehlah berpikir jauh ke depan, tapi yang paling utama pikirkanlah dan lakukanlah apa yang ada di depanmu sekarang"
Selasa, 26 Juni 2012
Jumat, 31 Desember 2010
Rabu, 29 Desember 2010
NILAI – NILAI DASAR PERJUANGAN (NDP) HMI DAN ESENSI AJARAN ISLAM TENTANG KEMASYARAKATAN
Oleh : Muhammad Arifin
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sesuai dengan Anggaran Dasar pasal 9 mempunyai peran sebagai organisasi perjuangan. Sebagai organisasi perjuangan, HMI harus mempunyai dasar – dasar perjuangan yaitu sering disebut Nilai – Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI. Nilai – Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI ini juga merupakan ideologi HMI.
Perkembangan sosio historis menunjukkan bahwa selain Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) HMI sejak tahun 1947 sampaii tahun 2008, HMI telah memiliki 11 naskah atau dokumen sebagai ideologi dan doktrin perjuangan, yaitu meliputi : 1) Pemikiran KeIslaman – KeIndonesiaan HMI (tahun 1947), 2) Tafsir Asas (tahun 1957), 3) Kepribadian HMI (1963), 4) Garis – Garis Pokok Perjuangan (tahun 1966), 5) Nilai – Nilai Dasar Perjuangan (NDP) (tahun 1969). Pada tahun 1989 NDP diganti menjadi NIK (Nilai Identitas Kader) dan tahun 1999 diganti kembali menjadi NDP sampai sekarang, 6) Gambaran Insan Cita HMI (penjelasan tujuan HMI) (tahun 1969), 7) kemudian disempurnakan menjadi Tafsir Tujuan (tahun 1971), 8) Tafsir Independensi (tahun 1971), 9) Nilai Identitas Kader (NIK) sebagai pengganti nama dari NDP (tahun 1986), 10) Memori penjelasan tentangPancasila sebagai Dasar Organisasi HMI (tahun 1986), dan 11) Memori penjelasan tentang Islam sebagai Asas HMI (tahun 1999). Sebelas doktrin perjuangan HMI tersebut disebut sebagai ideologi HMI. Menurut A. Dahlan Ranuwihardjo, SH bahwa ideologi adalah seperangkat ajaran – ajaran atau gagasan – gagasan berdasarkan suatu pandangan hidup untuk mengatur kehidupan negara/masyarakat di dalam segi – seginya serta yang disusun di dalam sebuah system berikut aturan – aturan operasionalnya.
Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa Islam bukanlah ideologi, seperti halnya ideologi Pancasila, komunis, liberalis, kapitalis, dan lain – lain. Islam merupakan wahyu yang datang dari Allah SWT, sedangkan ideologi merupakan ciptaan atau buatan manusia. Maka Islam sebagai wahyu tidak sama dengan ideologi buatan manusia. Islam adalah system kepercayaan kepada Allah SWT.
Sejarah perjalanan HMI terutama pada akhir – akhir ini terdapat perbedaan pemahaman tentang Nilai – Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI sehingga menimbulkan salah penafsiran. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika semua pihak dapat mengembalikan persoalan pada proporsi yang sebenarnya (Agussalim Sitompul, 2009).
Kesadaran akan eksistensi diri sebagai langkah awal dalam melakukan kerja kemanusiaan memuat dimensi penting yaitu dimensi Ilahiyah. Dimensi inilah yang mendatangkan pencerahan dalam gerak langkah setiap individu, karena hal itu sekaligus berperan sebagai sumber energi yang memotivisir dan menggerakkan langkah. Sebagai titik berangkat (depature point), maka tiada gerak dan kerja yang tidak memiliki dimensi Ilahiyah tersebut, karena tanpa itu hanya merupakan sesuatu perjalanan tanpa tujuan. Sehingga bagi HMI, semua kerja – kerja di muka bumi merupakan suatu rangkaian ibadah kepada Allah SWT. Sekaligus merupakan satu symbol dari penghambaan diri dan pengakuan terhadap ke Maha Kuasaan Allah SWT. Oleh karena itu, kata terakhir dari rumusan tujuan HMI adalah “……….. yang diridhoi Allah SWT”.
Dengan kecenderungan yang terjadi pada saat ini, maka penguatan dimensi Ilahiyah menjadi sesuatu yang mutlak. Bukan saja terhadap diri individu, tetapi juga dalam menghadapi tantangan mondial. Kemajemukan masyarakat menimbulkan adanya variasi unsur ( yang sering disebut primordialisme) sehingga untuk terciptanya suatu harmoni dalam kemajemukan itu dituntut adanya satu symbol besama berupa consensus. Untuk itu, maka penguatan terhadap jati diri individu berdasar basis unsur kemasyarakatan (bukan primordalisme) seperti terhadap agamanya justru diperlukan bagi penegasan itu, maka suatu harmoni dapat dieleminir dengan munculnya identitas dan prioritas masalah yang dihadapi.
Memasuki usia yang ke 63 tahun ini, maka tantangan terhadap HMI adalah bagaimana menemukan titik sambung antara pencapaian tujuan organisasi dengan tuntutan kebutuhan ummat dan terhadap mahasiswa Islam yang tergabung dalam organisasi ini. Sebagai sebuah bangsa, maka pada umur 25 tahun mendatang anggota atau kader HMI harus mencanangkan pembangunan kualitas manusia Indonesia bagi lahirnya manusia Indonesia baru guna mewujudkan masyarakat Indonesia maju. Dalam melihat hal ini harus melihat unsur penting yang memenuhi kualifikasi sebagai masyarakat maju dan kemanusiaan serta ditentukan pada aspek apa kulitas manusia Indonesia harus dibangun. Berbicara masyarakat sebagai suatu bangsa, maka pada tempatnya membahas masalah yang berkaitan dengan rasa bangga sebagai suatu bangsa.
Untuk itu kemandirian sebagai bangsa atau masyarakat harus menjadi tekad kita semua sekaligus kesiapan terlibat aktif dalam proses pencapaian kondisi tersebut. Kemandirian merupakan suatu atribut bagi suatu bangsa untuk lebih dapat eksis di tengah percaturan kehidupan antar bangsa untuk hadir dengan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki, namun bukan sama sekali tanpa bantuan. Bentuk bantuan yang datang bukan dalam kerangka ketergantungan, tetapi merupakan satu bentuk hubungan saling membutuhkan. Ini merupakan juga satu tuntutan dalam rangka mewujudkan tata dunia baru yang merupakan satu tata hubungan ketergantungan dan eksploitatif antara suatu bangsa dengan bangsa lain. Jadi bagi kita, kemandirian bukan saja merupakan suatu kondisi yang harus terwujud, tetapi suatu atribut yang mampu mengembangkan paham dan wawasan kebangsaan (Agussalim Sitompul, 2008).
Hal yang istimewa dari Indonesia tatanan, sejarah pembentukan, dan arti strategisnya, khususnya jika dilihat dari geopolitik perkembangan bangsa – bangsa di dunia terutama Asia Tenggara. Jika komponen – komponen tersebut digabung dengan variabel jumlah penduduk, luas wlayah, kekayaan sumber daya alam, kebinekaan agama, etnis dan kultur, maka Indonesia bisa menjadi negara besar.
Jika dilihat dari perspektif geopolitik – geostrategis, salah satu ciri “benua maritim” Indonesia adalah berstruktur pinggiran benua atau continental margin dan merupakan hasil titik temu tiga lempeng besar bumi yakni lempeng pasifik, Eurasia dan Samudra Hindia – Australia, yang lazim disebut Triple Junction. Lautannya mengandung sumber daya biotik yang kaya, demikian juga wilayah pesisir, di mana garis pantainya yang sepanjang 81.000 km itu berpotensi luar biasa untuk budi daya laut.
Geografi Indonesia sebagai negara kepulauan yang besar mamiliki keunikan budaya tersendiri, terlebih lagi jika dikaitkan dengan letaknya dalam peta dunia. Oleh karena itu, konsep – konsep geopolitik dan geostrategis Indonesia pu sangat unik. Konsep geopolitik yang dikenal sebagai Wawasan Nusantara bertujuan menjamin kesatuan wilayah beserta segala isi dan aspek kehidupan nasionalnya.
Dari segi geologi, geofisika, geokimia dan dinamika atmosfer, “benua maritime” Indonesia merupakan teks alami yang tiada habis – habisnya untuk dikaji, dipelajari dan dimanfaatkan sumber dayanya. Proses vulkanisme menyuburkan tanah. Sedangkan lereng – lerengnya memperluas lahan pertanian dan tubuh – tubuh gunung berapi yang berupa reservoir air alami adalah sangat berharga. Jadi, secara alami bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk (Sultan Hamengku Buwono X, 2007).
Selama ini banyak diantara masyarakat Indonesia, bahkan yang mengaku dirinya sebagai kaum reformis, memeknai reformasi itu hanya sebagai perubahan (change). Mereka lupa bahwa sesungguhnya reformasi itu suatu proses, yang dalam prosese tersebut selain harus dilakukan suatu perubahan juga dipertahankan suatu keberlanjutan yang disebut dengan kesinambungan (continuity) (Susilo Bambang Yudoyono, 2009).
Ajaran Islam merupakan ajaran yang diturunkan oleh Allah SWT kepada para Rosulnya melalui perantara malaikat Jibril. Ajaran Islam yang di turunkan oleh Allah SWT sebelum Nabi Muhammad SAW adalah sama dengan ajaran Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang membedakan yatiu cara mengamalkan ajaran tersebut (syari’at) sedangakan masalah ketauhidannya sama yaitu “LAA ILAAHA ILLALLAH”. Sehingga ajaran Islam tentang kemasyarakatan terutama yang berhubungan dengan sesama manusia atau masyarakat sering kali ada perubahan dari masa ke masa, tetapi perubahan itu tidak menyimpang dari Al – Qur’an dan As – Sunnah.
A. Nilai – Nilai Dasar Perjuangan (NDP)
Nilai – Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI merupakan salah satu ideologi HMI. Dalam perumusannya tentunya tidak lepas dari faktor – faktor yang menyebabkan dirumuskannya NDP ini. Adapun faktor – faktor tersebut diantaranya yaitu :
Pertama, karena pemahaman keIslaman di Indonesia masih perlu ditingkatkan, sehingga masih ada persoalan yaitu bagaimana menghayati nilai – nilai Islam itu. Untuk itu perlu dimiliki pedoman dan pegangan agar dapat menghayati nilai – nilai Islam itudengan belajar ke sumber Islam yang asli di kawasan Timur Tengah, namun hal itu tidak diperoleh sepenuhnya, karena banyak slogan – slogan loyalistik yang dikemukakan para tokoh Islam. Yang diperlukan adalah pemikiran untuk memecahkan masalah. Ketika mengkhatamkan Al – Qur’an dengan terjemahan bahasa Inggris, serta hasil diskusi yang dilakukan, Nurcholis Madjid atau sering dipanggil Cak Nur menemukan beberapa halyang relevan untuk Indonesia. Dari hasil wisata rohani dan pengembaraan intelektual selama tiga bulan di Timur Tengah, Cak Nur menulis sesuatu tentang nilai – nilai dasar Islam, dan inilah embrio dari Nilai – Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang disahkan pada konggres ke – 9 HMI di Malangtanggal 3 – 10 Mei 1969.
Kedua, sampai bulan April 1969, HMI belum memiliki sebuah buku tentang Islam yang dijadikan pegangan perjuangan bagi kader – kader HMI sebagaimana layaknya organisasi perjuangan. Terasa ada sesuatu yang kurang dalam perkaderan HMI. Persoalan keIslaman agaknya kurang mendapat tempat yang memadai. Untuk mengatasi kekurangan itu, Cak Nur membuat dan merumuskan NDP.
Ketiga, yaitu untuk memberi panduan bagi kader HMI agar bisa memahami Islam dengan baik dan bisa menerjemahkannya dalam dimensi ruang dan waktu. NDP itu memuat nilai – nilai ajaran Al Qur’an yang bersifat universal.
Keempat, agar HMI memiliki suatu ideologi yang dapat bertahan relatif lama yaitu antara 20 s/d 25 tahun. Sebelum NDP dirumuskan, HMI memiliki ideologi atau doktrin perjuangan, yaitu : 1) Kepribadian HMI yang disahkan pada Konggres ke-7 HMI di Jakarta tanggal 8 – 14 September 1963. Kepribadian itu dirumuskan sangat situasional untuk menghadapi rezim Orde Lama, yang isinya yang terdiri dari 6 esensi, yaitu a) Dasar Tauhid, b) Dasar Keseimbangan, c) Kreatif, d) Dinamis, e) Pemersatu, f) Progresif Revolusioner. Ketika Orde Baru muncul pada tahun 1966, Kepribadian HMI diganti lagi dengan Garis – Garis Pokok Perjuangan (GPP) yang dirumuskan dan sahkan pada Konggresn ke-8 HMI di Solo tanggal 10 s/d 17 September 1966. GPP HMI ini sifatnya juga sangat situasional untuk menghadapi Orde Baru.
Sesuai dengan situasi objektif intern maupun ekstern HMI, serta melihat dari kebutuhan perjuangan pada saat itu, maka strategi besar HMI diarahkan kepada 3 (tiga) sasaran, yaitu a) Intern HMI, konsolidasi organisasi HMI, b) Intern ummat Islam, Integrasi ummat, c) Nasional – Pembinaan Orde Baru.
Kelima, untuk memberi panduan bagi kader HMI agar bisa memahami Islam dengan baik dan bisa menerjemahkannya dalam dimensi ruang dan waktu dalam bingkai keIslaman, keIndonesiaan, dan kemodernan.
Berdasarkan latar belakang perumusan NDP tersebut, paling sedikit ada 2 (dua) hal yang patut dicatat. Pertama, dirumuskannya NDP tahun 1969, merupakan usaha untuk menyempurnakan dan melengkapi ideologi dan doktrin perjuangan HMI dari yang telah ada sebelumnya yaitu Kepribadian HMI dan Garis – Garis Pokok Perjuangan HMI. Kedua, dirumuskannya NDP adalah suatu metodologi untuk mempelajari, mendalami dan menghayati agama Islam sebagai dasar HMI.
Dari factor di atas dapat dilihat bahwa 2 (dua) ideologi HMI terdahulu sebelum NDP, hanya dapat bertahan 3 (tiga) tahun. Di Forum Konggres ke-7 dan ke-8 HMI, ideologi HMI silih berganti mengalami perubahan. Maka menjelang Konggres ke-9 HMI tahun 1969, Ketua Umum PB HMI Nurcholish Madjid merumuskan ideologi atau doktrin perjuangan HMI dan diperkirakan dapat bertahan 20 s/d 25 tahun, ideologi atau doktrin perjuangan HMI yang baru itulah kemudian disebut NDP. Mengganti Garis – Garis Pokok Perjuangan (GPP) dengan Nilai Dasar Perjuangan (NDP), atas mandat Konggres ke-9 HMI ditunjuk saudara Nurcholis Madjid, Endang Saefuddin Anshary, dan Sahib Mahmud untuk menyempurnakan kertas kerja PB HMI periode 1966 – 1969. Oleh PB HMI periode 1967 – 1971 NDP telah disempurnakan dan sudah dicetak berupa buku, yang ternyata dapat bertahan sampai sekarang (1969 – 2010) (Agussalim Sitompul, 2008).
Nilai – Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI memiliki posisi dan fungsi strategis dalam HMI sebagai organisasi kader. Perumusan NDP paling tidak menunjukkan sebuah keberanian sekelompok kaum muda Indonesia, yang tergabung dalam HMI, untuk melakukan persepsi – persepsi dasarnya tentang Islam.
Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa fungsi NDP adalah sebagai pedoman dan pegangan bagi setiap anggota, aktivis, kader, dan pengurus HMI dan sebagai panduan bagi kader HMI agar bisa memahami Islam dengan baik,serta dapat menerjemahkannya untuk melaksanakan ajaran agama Islam dalam dimensi ruang dan waktu dalam bingkai keIslaman, keIndonesiaan, dan kemodernan sebgai bentuk pemecahan masalah terhadap berbagai problema yang dihadapi, datang silih berganti tanpa berhenti, sehingga menjadi wujud nyata secara empiris di tengah – tengah masyarakat sebagai usaha untuk melakukan perubahan dalam masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan kontemporer. NDP juga berfungsi guna menerjemahkan dan kontekstualisasi nilai – nilai abstrak dalam bentuk yang lebih konkrit karena sangat terkait dengan dimensi ruang dan waktu.
Seperti diungkapkan dalam kata pengantar PB HMI dalam naskah NDP, bahwa ada 2 (dua) syarat utama bagi suksesnya perjuangan, ialah :
1. Keteguhan iman atau keyakinan kepada dasar yaitu idealism kuat, yang berarti harus memahami dasar perjuangan itu.
2. Ketepatan penelaahan kepada medan perjuangan guna dapat menetapkan langkah – langkah yang harus ditempuh, berupa program perjuangan atau kerja, yaitu ilmu yang luas.
Untuk melaksanakan butir pertama, maka NDP pun berfungsi sebagai pedoman untuk meneguhkan iman dan keyakinan kepada dasar perjuangan yaitu Islam. Dalam NDP terdapat 103 ayat Al – Qur’an dan 3 (tiga) hadits. Sedangkan untuk melaksanakan syarat kedua, bahwa dalam rangka pelaksanaan Program Kerja Nasional (PKN) HMI di tingkat Nasional, Program Kerja di tingkat Badko, Program Kerja di tingkat Cabang, Program Kerja di tingkat Korkom dan Komisariat, maka NDP pun berfungsi sebagai pedoman dan penuntut pelaksanaan sesuai dengan medan perjuangan sehingga berhasil melaksanakan Program Kerja yang telah digariskan sesuai level organisasi, dengan teori sosial yang terkandung dalam NDP.
Terlihat di sini bahwa fungsi NDP itu sangat luas dan dalam, yang dalam penerapannya dilakukan secara dinamis, karena masih memerlukan interpretasi dan analisis terhadap pedoman pokok yang termaktup dalam ayat – ayat Al – Qur’an dan Hadits yang harus disesuaikan secara dinamis dengan ruang dan waktu. Melihat dari persoalan ini, penelaah terhadap medan perjuangan, memerlukan ilmu yang luas, dan berkualitas yang harus dimiliki oleh setiap anggota, aktivis, kader dan pengurus HMI. Untuk mendapatkan ilmu yang luas dan berkualitas itu, setiap insan HMI harus rajin membaca buku. Sebuah buku adalah setitik ilmu.
Yang terkandung dalam Nilai – Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI ada 7 (tujuh), yaitu Dasar – Dasar Kepercayaan, Pengertian – Pengertian Dasar Tentang Kemanusiaan, Kemerdekaan Manusia (Ikhtiar) dan Keharusan Universal (Takdir), KeTuhanan yang Maha Esa dan Perikemanusiaan, Individu dan Masyarakat, Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi, Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan. Dari ketujuh Nilai – Nilai Dasar Perjuangan HMI tersebut yang kita soroti dan berhubungan dengan tema yang diberikan yaitu bagian kelima, keenam, dan ketujuh. Masing – masing bagian tersebut tentang Individu dan Masyarakat, Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi, dan Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan. Bagian yang paling kita soroti di sini yaitu tentang individu dan masyarakat karena erat sekali kaitannya dengan kemasyarakatan.
Individu dan Masyarakat. Bahwa pusat kemanusiaan adalah masing – masing pribadinya dan bahwa kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidak sesuatu yang lebih berharga daripada keemerdekaan itu. Maka dalam masyarakat itulah kemerdekaan asasi diwujudkan. Justru karena adanya kemerdekaan pribadi itu, maka timbul perbedaan – perbedaan antara suatu pribadi dengan yang lainnya. Dan sebenarnya perbedaan – perbedaan itu adalah untuk kebaikan manusia.
Pemenuhan suatu bidang kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan meskipun hanya oleh sebagian anggotanya saja. Sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap – tiap orang harus diberi kesempatan untuk memilih dari beberapa kemungkinan dan untuk berpindah dari satu lingkungan ke lingkungan yang lainnya. Kontradiksi yang ada pada manusia, dia adalah makhluk yang sempurna dengan kecerdasan dan kemerdekaannya dapat berbuat baik kepada sesemanya dan sekitarnya, tetapi pada waktu yang sama, ia merasakan adanya pertentangan yang konstan dan keinginan yang tak terbatas sebagai hawa nafsu (PB HMI, 2008).
Agama merupakan salah satu yang termasuk dalam fenomena kemasyarakatan. Sebagai satu institusi yang mempunyai klaim terhadap suatu kebenaran yang transenden dan absolut. Agama memang bisa menjadi factor laten bagi bahaya disintegrasi suatu komunitas. Kebenaran yang dimiliki agama tersebut sering kali tidak dapat menerima kehadiran agama lain sebagai kenyataan. Akibatnya sulit terjabarkan secara taktis-strategis hubungan harmonis antara agama – agama. Dalam bangsa yang plural, kenyataan seperti ini sulit terhindar (YB. Mangunwijaya, 1993). Meskipun dalam negara yang plural banyak agama dan kepercayaan yang berbeda, kita sebagai ummat Islam setidaknya menghargai mereka dalam hubungannya dengan manusia (hablumminannaas) sehingga hubungan dan kehidupan kita menjadi harmonis.
B. Esensi Ajaran Islam Tentang Kemasyarakatan
Sejarah umat manusia menunjukkan mata rantai yang panjang di mana bebrbagai kejadian selalu muncu. Jika kemudian selalu lahir orang – orang besar, orang – orang yang mampu menangkap kehendak sejarah dan berperan besar di dalamnya, maka hal itu tak terlepas dari sejarah itu sendiri. Sang pemimpin selalu muncul, dia ada di depan untuk mengarahkan masyarakat akan harapan hari depan. Dia mampu menangkap apa yang menjadi keresahan masyarakat dan sekaligus memberikan harapan akan hari depan.
Sejarah munculnya Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin dan pelopor orang – orang Arab (dan kemudian dunia) yang kemudian dikenal sebagai orang besar dalam sejarah dunia. Beliau memberikan jawaban dan mengarahkan masyarakat bergerak untuk menjawab berbagai macam kontradiksi yang ada, yang oleh banyak orang dikenal sebagai “zaman jahiliyah” (Nurani Soyomukti, 2008). Sejarah tersebut dapat dijadikan motivasi dan renungan bagi kita sebagai umat Islam untuk menyongsong masa depan.
Dalam untaian khazanah perkembangan ilmu pengetahuan dunia Islam, berbagai hal yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat dan individu yang ada di dalamnya, telah mendapatkan perhatian yang besar. Hal tersebut dapat dilihat di dalam beberapa karya besar ilmuwan muslim yang berbicara tentang masyarakat, negara, politik, pemerintahan, dan lain sebagainya. Sayangnya, ketika disiplin yang berkaitan dengan hal tersebut berkembang dan mewujud dalam disiplin sosiologi serta menjadi semakin krusial keberadaannya dalam ranah praktis, para ilmuwan muslim kontemporer justru sedikit sekali yang dapat memberikan kontribusi signifikan yang mewarnai sosiologi kontemporer (Syarifuddin Jurdi, 2010).
Akhir-akhir ini sering muncul ungkapan dari sebahagian pejabat pemerintah, politisi, cendekiawan, dan tokoh-tokoh masyarakat tentang masyarakat madani (sebagai terjemahan dari kata civil society). Tanpaknya, semua potensi bangsa Indonesia dipersiapkan dan diberdayakan untuk menuju masyarakat madani yang merupakan cita – cita dari bangsa ini. Masyarakat madani diprediski sebagai masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama. Di bawah kekuasaan rezim orde baru di masa lalu, potensi kekuatan masyarakat madani memang telah mengalami pengendalian luar biasa melalui berbagai bentuk represi dan kooptasi (Ahmad Doli Kurnia, 2002).
Konsep masyarakat madani merupakan tuntutan baru yang memerlukan
berbagai torobosan di dalam berpikir, penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan. Dengan kata lain, dalam menghadapi perubahan masyarakat dan zaman, “diperlukan suatu paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan-tuntutan yang baru, demikian kata filsuf Kuhn. Karena menurut Kuhn, apabila tantangan-tantangan baru tersebut dihadapi dengan menggunakan paradigma lama, maka segala usaha yang dijalankan akan memenuhi kegagalan".
Terobosan pemikiran kembali konsep dasar pembaharuan pendidikan Islam menuju masyarakat madani sangat diperlukan, karena "pendidikan sarana terbaik yang didisain untuk menciptakan suatu generasi baru pemuda-pemudi yang tidak akan kehilangan ikatan dengan tradisi mereka sendiri tapi juga sekaligus tidak menjadi bodoh secara intelektual atau terbelakang dalam pendidikan mereka atau tidak menyadari adanya perkembangan-perkembangan disetiap cabang pengetahuan manusia [Conference Book, London, 1978:16-17]. Berdasarkan apa yang dikemukakan di atas, maka masalah yang perlu dicermati dalam pembahasan ini adalah bagaimanakah pendidikan Islam didisain menuju masyarakat madani Indonesia.
Istilah masyarakat Madani sebenarnya telah lama hadir di bumi, walaupun dalam wacana akademi di Indonesia belakangan mulai tersosialisasi. "Dalam bahasa Inggris ia lebih dikenal dengan sebutan Civil Society". Sebab, "masyarakat Madani", sebagai terjemahan kata civil society atau al-muftama' al-madani. ....Istilah civil society pertama kali dikemukakan oleh Cicero dalam filsafat politiknya dengan istilah societies civilis, namun istilah ini mengalami perkembangan pengertian. Kalau Cicero memahaminya identik dengan negara, maka kini dipahami sebagai kemandirian aktivitas warga masyarakat madani sebagai "area tempat berbagai gerakan sosial" [seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelompk intelektual] serta organisasi sipil dari semua kelas [seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan usahawan] berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukkan pelbagai kepentingan mereka. Secara ideal masyarakat madani ini tidak hanya sekedar terwujudnya kemandirian masyarakat berhadapan dengan negara, melainkan juga terwujudnya nilai-nilai tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan kemajemukan [pluralisme] [Masykuri Abdillah, 1999:4]. Sedangkan menurut, Komaruddin Hidayat, dalam wacana keislaman di Indonesia, adalah Nurcholish Madjid yang menggelindingkan istilah "masyarakat madani" ini, yang spirit serta visinya terbakukan dalam nama yayasan Paramadinah [terdiri dari kata "para" dan "madinah", dan atau "parama" dan "dina"]. Maka, secara "semantik" artinya kira-kira ialah, sebuah agama [dina] yang excellent [paramount] yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban [madani] [Kamaruddin Hidayat, 1999:267-268].
Kata madani sepintas orang mendengar asosiasinya dengan kata Madinah, memang demikian karena kata Madani berasal dari dan terjalin erat secara etimologi dan terminologi dengan Madinah yang kemudian menjadi ibukota pertama pemerintahan Muslim. Maka, "Kalangan pemikir muslim mengartikan civil society dengan cara memberi atribut keislaman madani [attributive dari kata al-Madani]. Oleh karena itu, civil society dipandang dengan masyarakat madani yang pada masyarakat idial di [kota] Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam masyarakat tersebut Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Dengan begitu, kalangan pemikir Muslim menganggap masyarakat [kota] Madinah sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam yang dapat dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society"[Thoha Hamim, 1999:4].
Menurut Komaruddin Hidayat, bagi kalangan intelektual Muslim kedua istilah [masyarakat agama dan masyarakat madani] memilki akar normatif dan kesejarahan yang sama, yaitu sebuah masyarakat yang dilandasi norma-norma keagamaan sebagaimana yang diwujudkan Muhammad SAW di Madinah, yang berarti "kota peradaban", yang semula kota itu bernama Yathrib ke Madinah difahami oleh umat Islam sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai upaya Rasulullah Muhammad untuk mewujudkan sebuah masyarakat Madani, yang diperhadapkan dengan masyarakat Badawi dan Nomad [Kamaruddin Hidayat, 1999:267]. Untuk kondisi Indonesia sekarang, kata Madani dapat diperhadapkan dengan istilah masyarakat Modern.
Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa, bentuk masyarakat madani adalah suatu komunitas masyarakat yang memiliki "kemandirian aktivitas warga masyarakatnya" yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama, dengan mewujudkan dan memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan [persamaan], penegakan hukum, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan [pluralisme], dan perlindungan terhadap kaum minoritas. Dengan demikian, masyarakat madani merupakan suatu masyarakat ideal yang dicita-citakan dan akan diwujudkan di bumi Indonesia, yang masyarakatnya sangat plural.
Dari uraian di atas, maka sangat perlu untuk mengetahui ciri masyarakat tersebut. Antonio Rosmini, dalam “The Philosophy of Right, Rights in Civil Society” [1996: 28-50] yang dikutip Mufid, menyebutkan pada masyarakat madani terdapat sepuluh ciri yang menjadi karakteristik masyarakat tersebut, yaitu: Universalitas, supermasi, keabadian, dan pemerataan kekuatan [prevalence of force] adalah empat ciri yang pertama. Ciri yang kelima, ditandai dengan "kebaikan dari dan untuk bersama". Ciri ini bisa terwujud jika setiap anggota masyarakat memiliki akses pemerataan dalam memanfaatkan kesempatan [the tendency to equalize the share of utility]. Keenam, jika masyarakat madani "ditujukan untuk meraih kebajikan umum" [the common good], kujuan akhir memang kebajikan publik [the public good]. Ketujuh, sebagai "perimbangan kebijakan umum", masyarakat madani juga memperhatikan kebijakan perorangan dengan cara memberikan alokasi kesempatan kepada semua anggotanya meraih kebajikan itu. Kedelapan, masyarakat madani, memerlukan "piranti eksternal" untuk mewujudkan tujuannya. Piranti eksternal itu adalah masyarakat eksternal. Kesembilan, masyarakat madani bukanlah sebuah kekuatan yang berorientasi pada keuntungan [seigniorial or profit]. Masyarakat madani lebih merupakan kekuatan yang justru memberi manfaat [a beneficial power]. Kesepuluh, kendati masyarakat madani memberi kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya, tak berarti bahwa ia harus seragam, sama dan sebangun serta homogin [Mufid, 1999:213].
Lebih lanjut, menurut Mufid, menyatakan bahwa masyarakat madani terdiri dari berbagai warga beraneka "warna", bakat dan potensi. Karena itulah, masyarakar madani di sebut sebagai masyarakat "multi-kuota" [a multi quota society]. Maka, secara umum sepuluh ciri tersebut sangat idial, sehingga mengesankan seolah tak ada masyarakat seideal itu. Kalau ada, yaitu masyarakat muslim yang langsung dipimpin oleh Nabi SAW yang relatif memenuhi syarat tersebut. Memang, masyarakat seideal masyarakat “madinah” telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya, "tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang sebaik masyarakat atau sebaik-baik masa adalah masaku" [ahsanul qurun qarni] - terlepas dari status sahih dan tidaknya sabda ini, ataupun siapa periwayatnya [Mufid, 1999:213-214]. Diakui bahwa masyarakat Madinah yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW merupakan prototype masyarakat idial. Maka, prototype masyarakat madani tersebut, pada era reformasi ini, nampaknya akan upayakan untuk diwujudkan di Indonesia atau dengan kata lain akan ditiru dalam wacana masyarakat Indonesia yang sangat pluralis.
Sebelum membahas tentang pengertian pendidikan Islam, terlebih dahulu membahas apa itu pendidikan? Menurut M.J. Langeveld ; "Pendidikan merupakan upaya manusia dewasa membimbing yang belum kepada kedewasaan [Kartini Kartono, 1997:11]. Ahmad D.Marimba, merumuskan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh sipendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani siterdidik menuju terbentuknya keperibadian yang utama [Ahmad D. Marimba, 1978:20]. Demikian dua pengertian pendidikan dari sekian banyak pengertian yang diketahui. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor : 2 Tahun 1989, "pendidikan dirumuskan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi perannya di masa yang akang datang. Sedangkan, "pendidikan dalam pengertian yang luas adalah meliputi perbuatan atau semua usaha generasi tua untuk mengalihkan [melimpahkan] pengetahuannya, pengalamannya, kecakapan serta keterampilannya kepada generasi muda, sebagai usaha untuk menyiapkan mereka agar dapat memenuhi fungsi hidupnya, baik jasmaniah maupun rohaniah [Zuhairin, 1985:2].
Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan murid-murid dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan, mereka dipengaruhi sekali oleh nilai spritual dan sangat sadar akan nilai etis Islam [Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, 1986:2], atau menurut Abdurrahman an-Nahlawi, "pendidikan Islam mengantarkan manusia pada perilaku dan perbuatan manusia yang berpedoman pada syariat Allah [Abdurrahman an Nahlawi, 1995:26].
Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam bukan sekedar "transper of knowledge" ataupun "transper of training", ....tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi “keimanan” dan “kesalehan”, yaitu suatu sistem yang terkait secara langsung dengan Tuhan [Roihan Achwan, 1991:50]. Dengan demikian, dapat dikatakan pendidikan Islam suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Maka sosok pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia kearah kebahagian dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah. Karena pendidikan Islam membawa manusia untuk kebahagian dunia dan akhirat, maka yang harus diperhatikan adalah "nilai-nilai Islam tentang manusia; hakekat dan sifat-sifatnya, misi dan tujuan hidupnya di dunia ini dan akhirat nanti, hak dan kewajibannya sebagai individu dan anggota masyarakat. Semua ini dapat kita jumpai dalam al-Qur'an dan Hadits [Anwar Jasin, 1985:2].
Jadi, dapat dikatakan bahwa "konsepsi pendidikan model Islam, tidak hanya melihat pendidikan itu sebagai upaya "mencerdaskan" semata [pendidikan intelek, kecerdasan], melainkan sejalan dengan konsep Islam tentang manusia dan hakekat eksistensinya. ...Maka,..pendidikan Islam sebagai suatu pranata sosial, juga sangat terkait dengan pandangan Islam tentang hakekat keberadaan [eksistensi] manusia. Oleh karena itu, pendidikan Islam juga berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran bahwa manusia itu sama di depan Allah dan perbedaanya adalah terletak pada kadar ketaqwaan masing-masing manusia, sebagai bentuk perbedaan secara kualitatif" [M.Rusli Karim, 1991:29-32].
Pendidikan berupaya untuk menumbuhkan pemahaman dan kesadaran pada manusia, maka sangat urgen sekali untuk memperhatikan konsep atau pandangan Islam tentang manusia sebagai makhluk yang diproses kearah kebahagian dunia dan akhirat, maka pandangan Islam tentang manusia antara lain: Pertama, konsep Islam tentang manusia, khsusunya anak, sebagai subyek didik, yaitu sesuai dengan Hadits Rasulullah, bahwa “anak manusia” dilahirkan dalam fitrah atau dengan "potensi" tertentu [Anwar Jasin, 1985:2]. Dalam al-Qur'an, dikatakan "tegakkan dirimu pada agama dengan tulus dan mantap, agama yang cocok dengan fitrah manusia yang digariskan oleh Allah. Tak ada perubahan pada ketetapan-Nya.....[ar-Rum : 30]. Dengan demikian, manusia pada mulanya dilahirkan dengan "membawa potensi" yang perlu dikembangkan dalam dan oleh lingkungannya. Pandangan ini, "berbeda dengan teori tabularasa yang menganggap anak menerima "secara pasif" pengaruh lingkungannya, sedangkan konsep fitrah mengandung "potensi bawaan" aktif [innate patentials, innate tendencies] yang telah di berikan kepada setiap manusia oleh Allah [Anwar Jasin, 1985:3]. Bahkan dalam al-Qur'an, sebenarnya sebelum manusia dilahirkan telah mengadakan "transaksi" atau "perjanjian" dengan Allah yaitu mengakui keesaan Tuhan, firman Allah surat al-A'raf : 172, "Ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan Adam dari sulbi mereka dan menyuruh agar mereka bersaksi atas diri sendiri; "Bukankah Aku Tuhanmu?" firman Allah. Mereka menjawab; "ya kami bersaksi" yang demikian agar kamu tidak berkata pada hari kiamat kelak, "kami tidak mengetahui hal ini" [Zaini Dahlan, 1998:304]. Apabila kita memperhatikan ayat ini, memberi gambaran bahwa setiap anak yang lahir telah membawa "potensi keimanan" terhadap Allah atau disebut dengan "tauhid". Sedangakan potensi bawaan yang lain misalnya potensi fisikdan intelegensi atau kecerdasan akal dengan segala kemungkinan dan keterbatasannya.
Selain itu, dalam al-Qur'an banyak dijumpai ayat-ayat yang menggambarkan sifat-sifat hakiki manusia yang mempunyai implikasi baik terhadap tujuan maupun cara pengarahan perkembangannya. Misalnya saja: tentang tanggung jawab, bahwa manusia diciptakan tidak sia-sia, tetapi juga potensi untuk bertanggung jawab atas perbuatannya dan sesuai dengan tingkat kemampuan daya pikul seseorang menurut kodrat atau fitrah-nya [pada al-Mu'minun:115 dan al-Baqrah:286]. Selain itu juga manusia pada hakekat dan menurut kejadiannya bersedia dan sanggup memikul amanah [pada al-Ahzab : 72]. Di samping itu, hal yang juga penting implikasinya bagi pendidikan adalah tanggung jawab yang ada pada manusia bersifat pribadi, artinya tidaklah seseorang dapat memikul beban orang lain, beban itu dipikul sendiri tanpa melibatkan orang lain [pada Faathir:18]. Sifat lain yang ada pada manusia adalah manusia diberi oleh Allah kemampuan al-bayan [fasih perkataan - kesadaran nurani] yaitu daya untuk menyampaikan pikiran dan perasaannya melalui kemampuan berkomunikasi dengan bahasa yang baik [pada ar-Rahman:3-4]. Pada hadits Rasulullah, "barang siapa ingin mencapai kebahagian dunia harus ditempuh dengan ilmu dan barang siapa yang mencari kebahagian akhirat juga harus dengan ilmu, dan barang untuk mencari keduanya juga harus dengan ilmu". Dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa tugas dan fungsi pendidikan adalah mengarhkan dengan sengaja segala potensi yang ada pada seseorang seoptimal mungkin sehingga ia berkembang menjadi seorang muslim yang baik. Kedua, peranan pendidikan atau pengarah perkembanagan. Potensi manusia yang dibawah sejak dari lahir itu bukan hanya bisa dikembangkan dalam lingkungan tetapi juga hanya bisa berkembang secara terarah bila dengan bantuan orang lain atau pendidik. Dengan demikian, tugas pendidik mengarahkan segala potensi subyek didik seoptimal mungkin agar ia dapat memikul amanah dan tanggung jawabnya baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, sesuai dengan profil manusia Muslim yang baik. Ketiga, profil manusia Muslim. Profil dasar seorang Muslim yang baik adalah ketaqwaan kepada Allah. Dengan demikian, perkembangan anak haruslah secara sengaja diarahkan kepada pembentukan ketaqwaan. Keempat, metodologi pendidikan. Metodologi diartikan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari kegiatan mengarahkan perkembangan seseorang, khususnya pada proses belajar-mengajar. Maka, pandangan bahwa seseorang dilahirkan dengan potensi bawaan tertentu dan dengan itu ia mampu berkembang secara aktif dalam lingkungannya, mempunyai implikasi bahwa proses belajar-mengajar harus didasarkan pada prinsip belajar siswa aktif [student activelearning] [Anwar Jasin, 1985:4-5].
Jadi, dari pandangan di atas, pendidikan menurut Islam didasarkan pada asumsi bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu dengan membawa "potensi bawaan" seperti potensi "keimanan", potensi untuk memikul amanah dan tanggung jawab, potensi kecerdasan, potensi fisik. Karena dengan potensi ini, manusia mampu berkembang secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan bantuan orang lain atau pendidik secara sengaja agar menjadi manusia muslim yang mampumenjadi khalifah dan mengabdi kepada Allah.
Bersarkan uraian di atas, pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits sangat luas, meliputi pengembangan semua potensi bawaan manusia yang merupakan rahmat Allah. Potensi-potensi itu harus dikembangkan menjadi kenyataan berupa keimanan dan akhlak serta kemampuan beramal dengan menguasai ilmu [dunia – akhirat] dan keterampilan atau keahlian tertentu sehingga mampu memikul amanat dan tanggung jawab sebagai seorang khalifat dan muslim yang bertaqwa. Tetapi pada realitasnya pendidikan Islam, sebagaimana yang lazim dikenal di Indonesia ini, memiliki pengertian yang agak sempit, yaitu program pendidikan Islam lebih banyak menyempit ke-pelajaran fiqh ibadah terutama, dan selama ini tidak pernah dipersoalkan apakah isi program pendidikan pada lembaga-lembaga pendidikan telah sesuai benar dengan luasnya pengertian pendidikan menurut al-Qur'an dan hadits [ajaran Islam].
Setiap kemajuan tentu melibatkan eksperimentasi, dan setiap eksperimentasi melibatkan proses – proses coba dan salah (trial and error). Karena hal itu sudah merupakan suatu kemestian yang tidak mungkin ditolak atau dihindarkan, maka sikap menentang kepadanya dapat sepadan dengan menentang hukum alam, jadi pasti gagal. Dan karena tentu ada unsur kesalahan, besar atau kecil, dalam setiap eksperimentasi, maka menghindari atau menghalangi prose situ karena takut salah akan justru merupakan kesalahan yang lebih gawat. Sebab dalam jangka panjang dampak perusakannya terhadap tatanan sosial politik nasional akan lebih daripada sebuah eksperimentasi yang mengundang kekeliruan (Nurcholis Madjid, 2001).
Sebagaimana kita pahami bersama ada tiga fenomena dan arus global yang dasyat, yaitu kapitalisme, demokrasi dan hak asasi manusia. Kalau ingin kita lengkapi ada dua lagi fenomena yang lain, yang juga memberikan implikasi yang luas bagi kehidupan masyarakat dunia, yaitu isu lingkungan hidup dan tatanan hukum (the rule of law). Kelima hal inilah yang sering disebut pula sebagai nilai – nilai universal yang dengan gencarnya dikumandangkan oleh negara – negara maju, yang sebagian besar adalah negara – negara Barat (Susilo Bambang Yudhoyono, 2008). Arus global pun melanda dunia pendidikan di Indonesia sehingga perlu adanya pembaharuan di dunia pendidikan terutama pendidikan Islam.
Pendidikan Islam di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah dalam berbagai aspek. Upaya perbaikannya belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja ....Selama ini, upaya pembaharuan pendidikan Islam secara mendasar, selalu dihambat oleh berbagai masalah mulai dari persoalan dana sampai tenaga ahli. Padahal pendidikan Islam dewasa ini, dari segi apa saja terlihat goyah terutama karena orientasi yang semakin tidak jelas [Muslih Usa, 1991:11-13]. Berdasarkan uraian ini, ada dua alasan pokok mengapa konsep pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia untuk menuju masyarakat madani sangat mendesak. [a] konsep dan praktek pendidikan Islam dirasakan terlalu sempit, artinya terlalu menekankan pada kepentingan akhirat, sedangkan ajaran Islam menekankan pada keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat. Maka perlu pemikiran kembali konsep pendidikan Islam yang betul-betul didasarkan pada asumsi dasar tentang manusia yang akan diproses menuju masyarakat madani. [b] lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dimiliki sekarang ini, belum atau kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menghadapi tantangan dunia modern dan tantangan masyarakat dan bangsa Indonesia disegala bidang. Maka, untuk menghadapi dan menuju masyarakat madani diperlukan konsep pendidikan Islam serta peran sertanya secara mendasar dalam memberdayakan umat Islam. Suatu usaha pembaharuan pendidikan hanya bisa terarah dengan mantap apabila didasarkan pada konsep dasar filsafat dan teori pendidikan yang mantap. Filsafat pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan di atas dasar asumsi-asumsi dasar yang kokoh dan jelas tentang manusia [hakekat] kejadiannya, potensi-potensi bawaannya, tujuan hidup dan misinya di dunia ini baik sebagi individu maupun sebagai anggota masyarakat, hubungan dengan lingkungan dan alam semesta dan akhiratnya hubungan dengan Maha Pencipta. Teori pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan atas dasar pertemuan antara penerapan atau pendekatan filsafat dan pendekatan emperis [Anwar Jasin, 1985:8], Sehubungan dengan itu, konsep dasar pembaharuan pendidikan Islam adalah perumusan konsep filsafat dan teoritis pendidikan yang didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia dan hubungannya dengan lingkungan dan menurut ajaran Islam.
Maka, dalam usaha pembaharuan pendidikan Islam perlu dirumuskan secara jelas implikasi ayat-ayat al-Qur'an dan hadits yang menyangkut dengan "fitrah" atau potensi bawaan, misi dan tujuan hidup manusia. Karena rumusan tersebut akan menjadi konsep dasar filsafat pendidikan Islam. Untuk itu, filsafat atau segala asumsi dasar pendidikan Islam hanya dapat diterapkan secara baik jikalau kondisi-kondisi lingkungan ( sosial - kultural ) diperhatikan. Jadi, apabila kita ingin mengadakan perubahan pendidikan Islam maka langkah awal yang harus dilakukan adalah merumuskan konsep dasar filosofis pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam, mengembangkan secara empris prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam konteks lingkungan [sosial – cultural] yang dalam hal ini adalah masyarakat madani. Jadi, tanpa kerangka dasar filosofis dan teoritis yang kuta, maka perubahan pendidikan Islam tidak punya pondasi yang kuat dan juga tidak mempunyai arah yang pasti [Rangkuman dari Anwar Jasin, 1985:8 –9].
Konsep dasar filsafat dan teoritis pendidikan Islam, harus ditempatkan dalam konteks supra sistem masyarakat madani di mana pendidikan itu akan diterapkan. Apabila terlepas dari konteks "masyarakat madani", maka pendidikan menjadi tidak relevan dengan kebutuhan umat Islam pada kondisi masyarakat tersebut [masyarakat madani]. Jadi, kebutuhan umat yang amat mendesak sekarang ini adalah mewujudkan dan meningkatan kualitas manusia Muslim menuju masyarakat madani. Untuk itu umat Islam di Indonesia dipersiapkan dan harus dibebaskan dari ketidaktahuannya [ignorance] akan kedudukan dan peranannya dalam kehidupan "masyarakat madani" dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan Islam haruslah dapat meningkatkan mutu umatnya dalam menuju "masyarakat madani". Kalau tidak umat Islam akan ketinggalan dalam kehidupan "masyarakat madani" yaitu masyarakat ideal yang dicita-citakan bangsa ini. Maka tantangan utama yang dihadapi umat Islam sekarang adalah peningkatan mutu sumber insaninya dalam menempatkan diri dan memainkan perannya dalam komunitas masyarakat madani dengan menguasai ilmu dan teknologi yang berkembang semakin pesat. Karena, hanya mereka yang menguasai ilmu dan teknologi modern dapat mengolah kekayaan alam yang telah diciptakan Allah untuk manusia dan diamanatkan-Nya kepada manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini untuk diolah bagi kesejahteraan umat manusia.
Maka masyarakat madani yang diprediski memiliki ciri ; Universalitas, Supermasi, Keabadian, Pemerataan kekuatan, Kebaikan dari dan untuk bersama, Meraih kebajikan umum, Perimbangan kebijakan umum, Piranti eksternal, Bukan berinteraksi pada keuntungan, dan Kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. Atas dasar konsep ini, maka konsep filsafat dan teoritis pendidikan Islam dikembangkan sebagai prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam kontek lingkungan masyarakat madani tersebut, sehingga pendidikan relevan dengan kondisi dan ciri sosial kultural masyarakat tersebut. Maka, untuk mengantisipasi perubahan menuju "masyarakat madani", pendidikan Islam harus didisain untuk menjawab perubahan tersebut. Oleh karena itu, usulan perubahan sebagai berikut : [a] pendidikan harus menuju pada integritas antara ilmu agama dan ilmu umum untuk tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama, karena, dalam pandangan seorang muslim, ilmu pengetahuan adalah satu yaitu yang berasal dari Allah SWT, [b] pendidikan menuju tercapainya sikap dan perilaku "toleransi", lapang dada dalam berbagai hal dan bidang, terutama toleran dalam perbedaan pendapat dan penafsiran ajaran Islam, tanpa melepaskan pendapat atau prinsipnya yang diyakini, (c) pendidikan yang mampu menumbuhkan kemampuan untuk berswadaya dan mandiri dalam kehidupan, [d] pendidikan yang menumbuhkan ethos kerja, mempunyai aspirasi pada kerja, disiplin dan jujur [Suroyo, 1991:45-48], (e) pendidikan Islam harus didisain untukmampu menjawab tantangan masyarakat madani.
Dalam konteks ini juga perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan [Anwar Jasin, 1985:15] Islam yang ada. Memang diakui bahwa penyesuaian lembaga-lembaga pendidikan akhir-akhir ini cukup mengemberikan, artinya lembaga-lembaga pendidikan memenuhi keinginan untuk menjadikan lembaga-lembaga tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu umum dan ilmu agama serta keterampilan. Tetapi pada kenyataannya penyesuaian tersebut lebih merupakan peniruan dengan tambal sulam atau dengan kata lain mengadopsi model yang telah dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum, artinya ada perasaan harga diri bahwa apa yang dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan umum dapat juga dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan agama, sehingga akibatnya beban kurikulum yang terlalu banyak dan cukup berat dan bahkan terjadi tumpang tindih.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam mengambil secara utuh semua kurikulum [non-agama] dari kurikulum sekolah umum, kemudian tetap mempertahankan sejumlah program pendidikan agama, sehingga banyak bahan pelajaran yang tidak dapat dicerna oleh peserta didik secara baik, sehingga produknya [hasilnya] serba setengah-tengah atau tanggung baik pada ilmu-ilmu umum maupun pada ilmu-ilmu agama. Untuk itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam sebenarnya mulai memikirkan kembali disain program pendidikan untuk menuju masyarakat madani, dengan memperhatikan relevansinya dengan bentuk atau kondisi serta ciri masyarakat madani. Maka untuk menuju "masyarakat madani", lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memilih satu diantara dua fungsi yaitu apakah mendisain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing secara kompotetif dengan lembaga pendidikan umum atau mengkhususkan pada disain pendidikan keagamaan yang handal dan mampu bersaing secara kompotetif, misalnya mempersiapkan ulama-ulama dan mujtahid-mujtahid yang berkaliber nasional dan dunia (Hujair AH. Sanaky, 2010). Ajaran Islam yang berhubungan dengan muamalah di era globalisasi sekarang ini harus ada yang diperbaharui sehingga orang – orang Islam Indonesia tidak tertinggal dari yang lainnya.
Ø Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Nilai – Nliai Dasar Perjuangan (NDP) HMI merupakan ideologi dan doktrin perjuangan HMI, Nilai – Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI yang berhubungan dengan ajaran Islam tentang kemasyarakatan yaitu Individu dan Masyarakat, Keadilan Sosial dan Keadilan Ekonomi, serta Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahaun.
Menyarakat madani merupakan suatu ujud masyarakat yang memiliki kemandirian aktivitas dengan ciri: universalitas, supermasi, keabadian, pemerataan kekuatan, kebaikan dari dan untuk bersama, meraih kebajikan umum, piranti eksternal, bukan berinteraksi pada keuntungan, dan kesempatan yang sama dan merata kepada setiap warganya. ciri masyarakat ini merupakan masyarakat yang ideal dalam kehidupan. Untuk Pemerintah pada era reformasi ini, akan mengarakan semua potensi bangsa berupa pendidikan, ekonomi, politik, hukum, sosial budaya, militer, kearah masyarakat madani yang dicita-citakan.
Konsep dasar pembaharuan pendidikan harus didasarkan pada asumsi asumsi dasar tentang manusia meenurut aajaran Islam, filsafat dan teori pendidikan Islam yang dijabarkan dan dikembangkan berdasarkan asumsi-asumsi tentang manusia dan lingkungannya. Atau dengan kata lain pembaharuan pendidikan Islam adalah filsafat dan teori pendidikan Islam yang sesuai dengan ajaran Islam, dan untuk lingkungan ( sosial - kultural) yang dalam hal ini adalah masyarakat madani. Dan Konsep dasar pendidikan Islam supaya relevan dengan kepentingan umat Islam dan relevan dengan disain masyarakat madani. Maka penerapan konsep dasar filsafat dan teori pendidikan harus memperhatikan konteks supra sistem bagi kepentingan komunitas "masyarakat madani" yang dicita-citakan bangsa ini.
DAFTAR PUSTAKA
Pengurus Besar HMI. 2008.Nilai – Nilai Dasar Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam. Jakarta : PB HMI
Buwono X, SH. 2007. Merajut Kembali KeIndonesiaan Kita. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Sitompul, Agussalim. 2008. Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia. Jakarta : CV Misaka Galiza
Soyomukti, Nurani. 2008. Soekarno dan NASAKOM. Jogjakarta : GARASI
Sitompul, Agussalim. 2008. Sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam. Jakarta : CV Misaka Galiza
Yudhoyono, SB. 2008. Menuju Negara Kebangsaan Indonesia Modern. Jakarta : Brighten Press
Maliki, Zainuddin dan Mas’oed, Muhtar. 2001. Demokrasi Tersandera. Yogyakarta : KAHMI Jawa Timur dan Galang Press
Yudhoyono, SB. 2008. Menuju Indonesia Baru. Jakarta : Brighten Press
Kurnia, AD. 2002. Meluruskan Jalan ke Khittah HMI. Yogyakarta : Belukar, Waroengboto UH IV/1133
Aziz, MI; Maula, MJ; dan Dharwis, EKH. 1993. Agama, Demokrasi dan Keadilan. Jakarta : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Sanaky, HAH. 2010. Pembaharuan Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani, (Online), (http://www.prenadamedia.com, diakses tanggal 24 Juni 2010)
Jurdi, Syarifuddin. 2010. Sosiologi Islam dan Masyarakat Modern, (Online), (http://www.prenadamedia.com, diakses tanggal 22 Juni 2010)
HAKIKAT ILMU, HUKUM MENUNTUT ILMU, DAN KEUTAMAANNYA
Rosulullah saw bersabda, “Menuntut ilmu itu wajib bagi muslim dan muslimah”. Perlu diketahui bahwa kewajiban menuntut ilmu bagi muslim dan muslimah ini tidak untuk sembarang ilmu, tetapi terbatas pada ilmu agama dan ilmu yang menerangkan cara bertingkah laku atau bermuamalah dengan sesama manusia. Sehingga ada yang berkata, “Ilmu yang paling utama ialah Ilmu Hal, dan perbuatan yang paling mulia adalah menjaga perilaku”. Yang damaksud ilmu hal adalah ilmu agama Islam, misalnya ilmu Sholat. Karena setiap orang Islam wajib mengerjakan sholat, maka mereka wajib mengetahui rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya sholat, supaya dapat melaksanakan kewajiban sholat dengan sempurna.
Setiap orang Islam wajib mempelajari/mengetahui rukun maupun syarat amalan ibadah yang akan dikerjakannya untuk memenuhi kewajiban tersebut. Karena sesuatu yang menjadi perantara untuk melakukan kewajiban, maka mempelajari wasilah/perantara tersebut hukumnya wajib. Ilmu agama adalah sebagian wasilah untuk mengerjakan kewajiban agama, maka mempelajari ilmu agama hukumnya wajib, misalnya ilmu tentang puasa, zakat bila berharta, haji jika sudah mampu, dan ilmu tentang jual beli jika berdagang.
Muhammad bin Al-Hasan pernah ditanya mengapa beliau tidak menyusun kitab tentang zuhud, beliau menjawab, “Aku telah mengarang sebuah kitab tentang jual beli”. Maksud beliau adalah yang dikatakan zuhud ialah menjaga diri dari hal-hal yang syubhat(tidak jelas halal haramnya) dalam berdagang. Setiap orang yang berkecimpung di dunia perdagangan wajib mengetahui tata cara berdagang dalam Islam supaya dapat menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan. Setiap orang Islam juga harus mengetahui ilmu-ilmu yang berkaitan dengan batin atau hati, misalnya tawakal, tobat, takut kepada Allah SWT dan ridho. Sebab semua itu terjadi pada segala keadaan.
Tidak ada seorang pun yang meragukan akan pentingnya ilmu pengetahuan, karena ilmu itu khusus hanya dimiliki oleh umat manusia. Adapun selain ilmu, itu bisa dimiliki manusia dan bisa juga dimiliki binatang. Dengan ilmu pengetahuan Allah SWT mengangkat derajat Nabi Adam a.s di atas para malaikat. Oleh karena itu, malaikat diperintah oleh Allah SWT agar bersujud kepada Nabi Adam a.s.
Ilmu itu sangat penting, karena ilmu sebagai perantara (sarana) untuk bertaqwa. Dengan taqwa inilah manusia menerima kedudukan terhormat di sisi Allah SWT dan keuntungan yang abadi, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Al-Hasan bin Abdullah dalam syairnya : “Belajarlah! Sebab ilmu adalah penghias bagi pemiliknya. Jadikan hari-harimu untuk menambah ilmu dan berenanglah di lautan ilmu yang berguna”. Belajarlah ilmu agama, karena ilmu agama adalah ilmu yang paling unggul, ilmu yang dapat membimbing menuju kebaikan dan taqwa, ilmu paling lurus untuk dipelajari. Dialah ilmu yang menunjukkan kepada jalan yang lurus, yakni jalan petunjuk. Tuhan yang dapat menyelamatkan manusia dari segala keresahan. Oleh karena itu, orang yang ahli ilmu agama dan bersifat wara’ lebih berat bagi syaithan dari pada menggoda seribu orang ahli ibadah, tetapi bodoh.
Setiap orang Islam juga wajib mengetahui /mempelajari akhlak yang terpuji dan yang tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, rendah diri, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil (terlalu hemat) dan sebagainya. Sifat sombong, kikir, penakut, dan israf hukumnya adalah haram. Dan kita tidak mungkin bisa terhindar dari sifat-sifat itu tanpa mengetahui kriteria sifat-sifat tersebut serta mengetahui cara menghilangkannya. Oleh karena itu, setiap orang Islam wajib mengetahuinya.
Adapun mempelajari amalan agam yang dikerjakan pada saat-saat tertentu seperti sholat jenazah dan lain-lain, itu hukumnya fadhu kifayah. Jika di suatu daerah sudah ada yang mempelajari ilmu tersebut, maka yang lain bebas dari kewajiban. Tetapi, bila di satu daerah tak ada seorang pun yang mempelajarinya, maka semua penduduk daerah itu berdosa. Oleh karena itu, pemerintah wajib menyuruh rakyatnya supaya belajar ilmu yang hukumnya fardhu kifayah tersebut. Pemerintah berhak memaksa mereka untuk melaksanakannya.
Dikatakan bahwa mengetahui/mempelajari amalan ibadah yang hukumnya fardhu ‘ain itu ibarat makanan yang dibutuhkan setiap orang, sedangkan mempelajari amalan yang hukumnya fardhu kifayah, itu ibarat obat, yang mana tidak dibutuhkan oleh setiap orang dan penggunaannya pun pada waktu-waktu tertentu. Sedangkan mempelajari ilmu nujum (ilmu perbintangan yang dihubungkan dengan nasib manusia) itu hukumnya haram, karena ia diibaratkan sebagai penyakit yang sangat membahayakan, dan mempelajari ilmu nujum itu hanyalah sis-sia belaka karena ia tidak bisa menyelamatkan seseorang dari takdir Tuhan.
Oleh karena itu, yang dihubungkan dengan nasib manusia) itu hukumnya haram, karena ia diibaratkan sebagai penyakit yang sangat membahayakan, dan mempelajari ilmu nujum itu hanyalah sis-sia belaka karena ia tidak bisa menyelamatkan seseorang dari takdir Tuhan.
Oleh karena itu, setiap orang Islam wajib mengisi seluruh waktunya dengan berdzikir kepada Allah SWT, berdo’a, memohon seraya merendahkan diri kepada-Nya, membaca Al-Qur’an, dan bersedekah supaya terhindar dari mara bahaya.
Boleh mempelajari ilmu nujum (ilmu falak) untuk mengetahui arah kiblat dan waktu-waktu sholat. Boleh pula mempelajari ilmu kedokteran, karena ia merupakan usaha penyembuhan yang tidak ada hubungannya dengan sihir, jimat, tenung, dan sebagainya. Karena Nabi saw juga pernah berobat.
Imam Syafi’i Rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada dua, yaitu ilmu fiqih untuk mengetahui hukum agama dan ilmu kedoteran untuk memelihara badan”.
Ilmu tafsir ialah Ilmu yang digunakan untuk menafsir/menyingkap ayat-ayat Al-Qur’an dengan sempurna. Dengan ilmu tafsir, seseorang mampu mengungkap/mengetahui maksud ayat-ayat Al-Qur’an. Sedangkan ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum-hukum agama secara rinci. Abu Hanifah Rahmatullahi Ta’ala berkata, “Ilmu fiqih adalah ilmu untuk mengetahui mana yang berguna bagi seseorang dan mana yang membahayakannya”. Beliau juga berkata, “Tidak ada ilmu kecuali yang diamalkan, sedangakan mengamalkannya berarti meninggalkan dunia untuk meraih kebahagiaan akhirat”.
Oleh karena itu, setiap orang Islam hendaknya tidak melupakan hal-hal yang bermanfaat dan yang membahayakan dirinya di dunia dan akhirat. Oleh karena itu dia harus belajar ilmu yang bermanfaat dan menjauhi ilmu yang tidak berguna, agar akal dan ilmunya tidak membahayakan dirinya.
Sumber buku : Ta'lim Muta'alim oleh Syekh Az-Zamuji
Langganan:
Komentar (Atom)