Tatkala Kiai Suliman wafat, keluaarga dan ribuan santrinya manangis meratap-ratap di pembaringannya. Kawan akrabnya, Kiai Munib, datang melayat. Di hadapan mayat temannya ituia tersenyum setipis silet sembari menatap beberapa orang yang ada di sekitarnya, lalu berkata, “Yang lahir, lalu mati. Maka kembalilah apa yang musti kembali.”
Beberapa santri sepuh kurang berkenan dengan ucapan itu dan seorang dari mereka menimpali, “Pantaskah Kiai sebagai kawan terdekatnya meratapinya dengan omongan seperti itu.”
“Kematian datang bagai satu tarikan nafas. Manusia tak meminta lahir ke dunia dan saat mati pun tak dapat menolak. Semuanya telah termaktub dalam kuasa-Nya. Segala yang hidupada dalam waktu-Nya, dan mati juga berada di kerahasiaan-Nya. Jadi, apa yang pantas diitangisi dari kematian? Tidak ada alas an atas duka cita ini, kecuali manusia yang terlalu mencintai dunia. Hidup manusia hakikatnya tak lebih cuma tidur dan ketika mati mereka benar-benar sadar dan bangun dari mimpinya : ‘Hiya ad-dunya aqallu min al-qalili, wa ‘asyiquha adzallu min adz-dzalili’. Yang artinya ‘Dunia ini hanyalah sedikit dari yang paling sedikit, dan orang yang terjerumus mencintainya adalah orang yang hina dari yang paling hina’.’’
Sumber buku : Geger Kiai Catatan Mistis sang Kembara oleh Fahrudin Nasrulloh (2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar